Sabtu, 04 April 2009

Simbol Polisi Itu Tribrata


Menjelang Usianya yang ke - 63, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) Tampaknya masih mencari Identitas diri selaku Polisi Sipil. usia 63 Tahun bagi manusia dapat dikatakan diambang senja, namun tidak demikian bagi sebuah Organisasi. Bagi Manusia, menjelang usia 63 tahun umumnya mulai menoleh kebelakang untuk menyisir kembali jejak-jejak langkah kehidupannya, sebagai persiapan untuk mempertanggungjawabkan seluruh tingkah lakunya beberapa saat lagi dihadapan Tuhan.
Menjelang Usia 63, Polri seharusnya sudah tegak menapakkan jalan yang akan dilaluinya dalam mengemban darma sebagai Pengayom, Pelindung, dan Pembimbing masyarakat. Namun jalan yang harus dilalui Polri tampaknya msih terbentang panjang, terjal dan sarat rintangan. Meskipun demikian, Polri tetap dituntut tegap berjalan dalam meniti cobaan yang cukup menggonjang-ganjingkan dirinya sebagai Pengawal proses Demokrasi, Persatuan dan Kesatuan Bangsa Indonesia.
Dalam menghadapi aral rintangan itu, Polri tidak Boleh Mundur setapak pun. Polri tidak boleh gentar dengan segala macam ejekan, lecehan, dan hinaan yang sering sangat menyakitkan. Polri harus bisa memaklumi adanya anggapan bahwakeberadaannya hanya sebagai "aparat Penjamin kekuasaan Pemerintah yang dikonfrontasikan dengan masyarakat". Dengan pernyataan itu, Polri Justru bisa menggunakan dirinya sebagai pemicu mengubah diri.
Kini, tantangan yang dihadapi oleh Polri tidak hanya sekedar masalah teknis. Sejalan dengan pelaksanaan tugas rutin yang semakin berat. Polri menghadapi dua tantangan besar. Pertama, membentuk Jati diri sebagai Polisi Sipil. Kedua, meningkatkan Profesionalitasnya. Dua tantangan besar itu Pokok persoalannya terletak pada Pranata Organisasi, yaitu Tri Brata sebagai pedoman hidup anggota Polri yang tercemar oleh berbagai kepentingan Pribadi. Tri Brata adalah Pondasi Utama Organisasi Polri sebagai Polisi Sipil. Pranata ini yang seharusnya dilembagakan secara benar dalam organisasi.
Nilai-nilai Pengayoman, Pelindung dan Pembimbing Masyarakat yang sangat manusiawi dalam praktek, sering bertentangan dengan Sikap perilaku Polisi sendiri. Hingga kini, kajian tentang perilaku Polisi yang mengacu pada Tri Brata tampak belum sampai pada temuan sebagai suatu system pelembagaan yang jelas dan Operasional, Literatur yang ada baru sampai pada komentar tentang sejarah dan nilai-nilainya. Bahasan mengenai aspek-aspek etika kerap kali berputar-putar mengenai petuah-petuah moralistis saja, Padahal, yang dibutuhkan adalah menemukan metode implementasi dimensi nilai-nilai Tri Brata dalam organisasi Kepolisian secara Kultural. Tri Brata baru gambaran Polisi Utopia dan nilai-nilai yang dicita-citakan masyarakat.
Tri Brata adalah simbol. Simbol pada hakekatnya merupakan perlambang yang disepakati pemakaiannya untuk menandai atau mempresentasikan entitas tertentu. Pengertian simbol berkaitan dengan sesuatu yang imanen, hal-hal didalam dunia nyata yang disatukan kedalam diri manusia (misalnya nilai-nilai, norma-norma, aturan-aturan, etika, kebiasaan-kebiasaan dan lain-lain).
Selain itu, simbol juga merujuk pada sesuatu yang transenden, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan dialog antara Manusia dengan Tuhan. Dengan demikian, simbol bukan semata-mata Cognitive Construcs.
Cassirer (1923) membedakan tanda (sign) dengan simbol (symbol). tanda adalah bagian dari dunia fisik yang berfungsi sebagai operator, sedangkan simbol adalah bagian dari dunia makna yang berfungsi sebagai designator. simbol tidak selalu memiliki kenyataan fisik, tetapi memiliki nilai fungsional. Simbol Juga merupakan kategori untuk memilih (menyeleksi) pengalaman-pengalaman Manusia (Spradley, 1972). Kategori itu diwujudkan dalam bentuk hasil kebudayaan seperti pakaian, rumah, peralatan kerja, dan atribut-atribut yang kemudian menjadi peta pengertian yang digunakan untuk menafsir tindakan dan peristiwa yang mereka lihat dan hadapi.
Manifestasi simbol tidak terbatas pada bentuk fisik saja, tetapi juga non fisik, seperti bahasa, ilmu pengetahuan yang menyatukan pengertian sesama manusia. Dengan demikian, terdapat hubungan antara simbol dan kebudayaan. Keduanya membawahi manusia dalam kehidupan yang membuat manusia bertanggung jawab atas tindakannya. Simbol mengawali tindakan manusia dengan refleksi. Dalam hal ini simbol memberikan maknanya melalui kabut teka-teki yang diperlawankan, yaitu hal-hal yang bermakna dan hal-hal yang tidak bermakna (Karl Popper).
Disini tanggung jawab manusia dituntut atas simbol yang dibuatnya. Jika pilihan Nilai-nilai tidak dijabarkan dalam berbagai pranata Organisasi, akan muncul berbagi tindakan yang berbeda dengan makna simbol atau kebudayaannya. Dengan memahami pengertian simbol, untuk mengejawantahkan Tri Brata dalam Organisasi Polri, tidak cukup hanya dengan menggunakan "Ikrar" seperti yang dilakukan Polisi. Ikrar lebih mudah diwujudkan dalam kehidupan dimana antara kebaikan dan keburukan mudah dibedakan.
Masa kini, dalam kehidupan yang semakin dikuasai oleh budaya ilmu pengetahuan dan teknologi dimana orientasi ekonomi menjurus ke arah materialistik maka tidak mudah mengharapkan janji atau ikrar untuk dapat ditepati. Tri Brata adalah Nilai moral. Nilai Moral itu lebih banyak sebagai akibat daripada sebab. Karena itu untuk terwujudnya nilai-nilai Tri Brata dilingkungan Polri perlu pemimpin-pemimpin kesatuan yang mampu dijadikan Panutan dan memiliki keteladanan paripurna.
Disamping itu, para pemimpin harus bisa menerjemahkan kebenaran nilai-nilai Tri Brata dalam suatu Program pencapaian. sebab, antara Ultimate Values dalam Tri Brata dan kondisi nyata sekarang ini perlu penerjemahan-penerjemahan yang benar (sesuai). Jadi bukan pernyataan seperti "Polisi itu bekerja tanpa pamrih". Masa kini, bekerja secara profesional harus diimbangi dengan pendidikan dan latihan yang cukup, upah yang wajar, alat-alat yang memadai , dan kesejahteraan yang cukup. *)
Staf Pengajar Kajian ilmu Kepolisian Pasca Sarjana UI, Staf Pengajar PTIK)

Tidak ada komentar: